Kamis, 29 Februari 2024

The Tao Of Bamboo Nggelar Nggulung Ngelar Jagad

 



Judul Buku: The Tao of Bamboo, Nggelar Nggulung Ngelar Jagad
Penulis: Widya Poerwoko & Elizabeth D. Inandiak
Editor: Tim Ruas Bambu Nusa dan Indro Suprobo
Penerbit: Kunca Wacana
Ukuran: 14 x 21 cm, viii + 72 hlm
Terbit: Maret 2024


The Tao of Bamboo atau Nggelar Nggulung Ngelar Jagad adalah narasi reflektif figuratif tentang silat, bambu, dan alam yang diolah menjadi karya seni hayati, Eco-Art. Ia dihadirkan, berwujud dan meruang, tumbuh seiring dan bersatu padu dengan kehidupan masyarakat, kebudayaan, serta alam selingkupnya. 

Nggelar Nggulung Ngelar Jagad yang dinarasikan di dalam buku ini adalah sebuah paparan reflektif figuratif tentang perjalanan dan dialog bersama dengan pengalaman hidup dan alam sekitar, terutama bersama tanaman bambu yang memiliki keunikan dan menyediakan inspirasi yang kaya. Bambu menyimpan kekayaan nilai dan inspirasi di dalamnya yang memberi jalan bagi lubernya ekspresi estetik hayati dalam bentuk seni-hayati atau eco-art, yang menghadirkan refleksi kritis serta penerimaan diri sekaligus orientasi visioner ideal tentang kehidupan.

Narasi tentang The Tao of Bamboo dalam buku ini adalah sebuah narasi tentang hidup yang sebenarnya tak pernah sendirian, melainkan senantiasa berada dalam jaring persahabatan, terutama persahabatan antara subyek manusia dan tanaman bambu. Sebagai makhluk hidup, tanaman bambu memiliki cara unik untuk berinteraksi dengan mahkluk lain, menjadi mitra bagi manusia. Ia menjalankan tugas tanpa ego, tanpa keinginan pribadi. Ia bahkan mengabdi, dengan rela selalu memulihkan bu-mi yang dirusak oleh sifat rakus dan ekstratif penghuni liarnya. Itulah spiritualitas bambu yang dapat dipetik melalui dialog dan persahabatan yang intens dan mendalam.

Narasi tentang The Tao of Bamboo, adalah sebuah cermin yang merefleksikan kompleksitas perjalanan hidup atau sketsa hikayat hidup penulisnya sendiri. Hikayat hidup itu direfleksikan, dikuliti, dipantau dalam jarak, dievaluasi, ditemukan sisi tragedinya, diperbandingkan dengan visi ideal yang ditemukan dalam kesadaran dan menjadi orientasi, lalu dilahirkan kembali dalam ekspresi seni hayati (eco-art) yang bersifat metaforis, figuratif sekaligus paradoksal. Ia bersifat metaforis dan figu-ratif karena sifatnya yang hendak menggambarkan atau melu-kiskan pengalaman dan temuan nilai hidup yang tak dapat diungkapkan secara persis seperti apa adanya, melainkan sebagai penafsiran maknawi tentangnya. Ia bersifat paradoksal karena mengungkapkan makna substansial bukan dari wajah aselinya melainkan dari pantulan cermin yang sebaliknya, di mana kiri dipandang dari kanan, atas disorot dari bawah, depan didekati dari belakang, keterbukaan dipahami dari ketertutupannya, keikhlasan dicermati melalui hasrat, keseimbangan disadari melalui jebakan dikotomis, kesadaran ditelusuri dari kemabukan, orientasi diyakinkan melalui kesuwungan atau disorientasi, kecerdasan batin didedah melalui sisi penderitaan, perwujudan tindakan ditegaskan melalui kemandegan, keragaman diperkenalkan melalui keseragaman, dan keterhubungan dikukuhkan melalui sisi keterpisahan atau diskoneksitas. Sisi-sisi paradoksal ini menarasikan tentang lansekap batin penulis yang mengungkapkan jalan bertabur kebingungan, kegagalan, keserakahan, kerugian, dan kesesatan yang telah disadari dan direfleksikan. 

Seluruh narasi tentang The Tao of Bamboo ini pada akhirnya merupakan suatu bentuk penerimaan diri, pengakuan dan keterbukaan bahwa pilihan-pilihan jalan manusia itu bisa keliru, berbelok, kehilangan orientasi dan terjatuh, namun manusia tetap dapat selalu lahir kembali, bangkit berdiri dan berjalan lagi dalam keikhlasan, keterbukaan diri, dan keberanian. Seluruh narasi dalam buku ini boleh dikatakan merupakan kesaksian bahwa yang paling penting dalam perjalanan adalah jangan pernah merasa takut untuk terjatuh, karena hidup akan terus-menerus menjadi lebih bermakna ketika manusia memiliki keberanian untuk bangun kembali dan menapaki langkah baru. 

Nggelar, nggulung, ngelar jagad adalah sebuah keikhlasan untuk senantiasa terbuka kepada banyak kemungkinan dan keba-haruan sehingga kekayaan makna kehidupan semakin dapat ditemukan, diteguhkan, direnung-renungkan, lalu dibagikan. Itulah kekayaan dan kelenturan kehidupan yang pantas untuk dijalani dengan keberanian.