Sabtu, 17 September 2022

Subyek yang Senantiasa Bertanya



Judul Buku: Bulan Terbelah, Dia Anakku Walau Bukan dari Benihku
Penulis: Gunawan Sudarsono
Kategori: Novel
Penerbit: Kunca Wacana
Ukuran: 11 x 17 cm, vi + 126 hlm
Terbit: Oktober 2022
Harga: Rp 55.000

Orang-orang yang menyukai proses belajar terus-menerus (on going learning), pada umumnya memiliki kebiasaan untuk senantiasa bertanya, berpikir dan menemukan alternatif jawaban. Pada umumnya pula, orang-orang yang tergolong dalam kategori ini, memiliki kebiasaan untuk mengambil jarak, menunda persetujuan, membuka kemungkinan terhadap cara-cara baru dalam membangun pemahaman, serta dengan gembira hati memberikan ruang bagi perbedaan pandangan. Semuanya itu sudah menjadi "laku", jalan hidup (the way of life), atau gaya hidup (life style). Yang paling menarik, orang-orang seperti ini, tak pernah merasa malu untuk mengakui bahwa ia belum memahami sesuatu. Maka ia tak pernah ragu ketika suatu saat harus mengatakan "maaf, saya tidak tahu tentang hal itu".

Gunawan Sudarsono, adalah salah satu contoh konkretnya. Sejak masih aktif sebagai guru sastra, ia selalu suka bertanya kepada para muridnya, mengajaknya untuk berpikir dan mencoba merumuskan alternatif jawaban. Sebaliknya, ia juga selalu dengan gembira membuka ruang bagi siapapun untuk bertanya, atau menyampaikan pandangan yang berbeda. Berdialog, bertukar pikiran, berbagi gagasan, saling mempertanyakan, saling melengkapi pandangan, saling membuka kemungkinan-kemungkinan, adalah ruang yang ditawarkan dan disediakannya sejak semula. Semangat untuk saling belajar tiada henti, itulah karakter yang sejak dini ia inisiasi.

Karena telah menjadi "laku", masa pensiun tidak membuatnya berhenti untuk berpikir dan bertanya, serta menemukan beragam jawaban yang mungkin beraneka rupa. Ia tetap menjadi pribadi yang produktif, terus bertumbuh, menciptakan makna dan berkarya. Bulan Terbelah, novel kecil yang ditulisnya, adalah salah satu bukti dan hasil nyata, sekaligus kesaksian utama tanpa dusta.

Sub judul yang dirumuskannya, Dia Anakku Walau Bukan dari Benihku, merupakan tema utama yang menjadi sarana baginya untuk mengajak semua pembaca untuk bertanya, berpikir dan berupaya merumuskan alternatif jawaban. Melalui novel ini, ia mengajak para pembacanya untuk mencoba memasuki peran dalam diri tokoh-tokoh utamanya, Herman dan Kadarwati, memasuki pengalaman, kenyataan, persoalan serta dilema yang dihadapinya.

Saat memasuki atau menghadapi pengalaman, peristiwa, kenyataan yang tak sesuai impian, dambaan mendalam, relasi kuasa, kegelisahan, rasa bersalah, dan pandangan-pandangan masyarakat sekitar maupun pandangan keluarga yang disuguhkan dalam novel ini, setiap pembaca diajak untuk menentukan pilihan dan mengambil keputusan. Meskipun melalui para tokohnya, Gunawan Sudarsono telah menyodorkan pilihan-pilihan, keputusan, serta cara berpikir dalam menghadapi kenyataan, ini tidak berarti bahwa ia telah secara final merumuskan satu jawaban pasti. Itu semua merupakan tawaran terbuka, sebagai salah satu pandangan yang menghantar pembaca untuk berpikir dan bertanya ulang, lalu merumuskan alternatif keputusan dan pilihan. Melalui novel ini, ia seperti sedang mengajukan sebuah pertanyaan,"Jika pilihan-pilihannya semacam ini, bagaimana menurutmu?" Selanjutnya, pembaca diajak untuk menimbang dan mengambil keputusan sendiri.

Membaca novel yang ditulisnya ini, saya merasa seperti dibawa kembali ke masa lalu, ke ruang kelas sastra, di mana ia mengajukan tanya agar sebanyak mungkin murid-muridnya mengajukan jawaban yang berbeda-beda, dan dengan gembira hati, ia mewadahi dan menanggapi semuanya. Sekali lagi, ia sedang mengajak untuk berpikir, bertanya dan merumuskan alternatif jawaban.

Bahasa-bahasa Simbolik
Hal lain yang menarik, novel ini menyuguhkan bahasa-bahasa sim-bolik yang mengesankan dan mendalam. Ia merupakan bahasa yang tak terucap dalam kata, melainkan dalam perilaku, sikap, permainan musik biola maupun piano yang menghubungkan gerak dan dinamika jiwa. Ada kesalahpahaman, ada dugaan-dugaan yang memberi harapan, ada feeling yang membangun keterhubungan dan komunikasi meskipun tak dipahami dalam keyakinan yang pasti. Kemarahan bapak Kepala Sekolah terhadap perilaku tokoh Bulan yang dinilainya tak menunjukkan sopan santun di dalam ruang kelas, merupakan kesalahpahaman yang disebabkan oleh tiadanya pengenalan terhadap konteks psikologis sang murid. Kepala Sekolah tak berhasil mengenali bahwa perilaku Bulan itu sebenarnya merupakan cerminan dari bahasa kerinduannya terhadap sosok ayah yang telah hilang, yang sebagian sifatnya tampaknya ditemukan dalam diri Kepala Sekolah itu.

Permainan biola oleh tokoh Pak Suryo, nama tua tokoh Herman, adalah upaya seorang ayah untuk menggapai hati seorang anak perempuan yang secara kuat ia duga sebagai anaknya, namun telah tak mengenalnya lagi. Ini adalah komunikasi-komunikasi non verbal yang menggetarkan dan kuat, serta mengesankan. Pembaca diajak untuk melampaui kata-kata dan memasuki komunikasi simbolik yang mendalam dan penuh makna. Saya kutipkan penggalan narasinya yang mengesankan:

Bulan terus disibukkan oleh pikiran-pikiran tentang ayah. Saat matanya terus tidak bisa dipejamkan, saat kerinduan terus menja-lari pikiran dan hatinya, sayup-sayup ia dengar Nocturne Op 9, No 2 Chopin. Suara biola mengalun lembut dengan nada rendah berpindah ke nada tinggi, kembali ke rendah lagi mengalir dengan lembut. Nada-nada keluar dari jari-jari yang digerakkan dengan penuh perasaan. Pada akhir lagu nada bergerak dari lambat meng-alun menjadi cepat dan melengking.
Ada perasaan mendalam yang diekspresikan oleh pemain biola yang tak lain Pak Suryo. Bulan merasakan setiap tarikan nada ada getar dan desah kerinduan akan sesuatu yang jauh dan tak ter-jangkau. Ada pertanyaan, ada gugatan, tetapi sekaligus juga ada penerimaan yang diungkapkan dari nada-nada yang terucap di te-ngah malam.
Bulan jadi ingat cerita mama bahwa ayah suka sekali memainkan lagu Nocturne Op 9, No 2 Chopin itu. Pak Suryo seperti tidak sedang bermain biola biasa. Ia menyatakan jiwanya. Ia menyatakan jeritan hatinya. Jeritan hati yang rindu kepada orang yang dicintainya.
Tak terasa, saat lagu itu berakhir, air mata Bulan menitik. Dari mulutnya tergumam,”Kaukah itu, Papa?”

Ruang Terbuka untuk Menunda
Meskipun kisah dalam novel ini diakhiri dengan happy ending, terasa sekali bahwa setelah kalimat terakhir tuntas terbaca, masih tersedia ruang yang terbuka untuk menunda persetujuan, menunda pemaknaan, dan menghantar lagi kepada upaya untuk kembali berpikir dan bertanya, mengurai kembali jaringan peristiwa, menelusur pilihan dan keputusan yang disodorkan melalui para tokohnya dengan pertanyaan mengapa, bagaimana bisa, apa penyebabnya, faktor apa saja yang membentuknya, dan sebagainya. Banyak hal yang memengaruhi para tokoh dalam mengambil pilihan dan keputusan, memang tetap tersem-bunyi, tak diungkap secara detail dan rinci. Namun justru di situlah ruang dialog dan diskusi itu disediakan oleh novel ini. Ada ruang untuk mencoba menggali, menimbang, menelusuri, menduga, menemukan ke-mungkinan, mengidentifikasi relasi, dan memahami faktor-faktor yang memungkinkan peristiwa-peristiwa itu terjadi.

Oleh karena itu, sejauh saya pahami, Bulan Terbelah, adalah novel yang juga mencerminkan konsistensi antara penulis dan karyanya, yakni keduanya adalah subyek yang senantiasa membuka ruang untuk berpikir dan bertanya. Boleh dikata, setelah mencerna sampai pada kalimat paripurna, pembaca tetap dibuat merasa gelisah, berpikir ulang, menunda untuk percaya, dan tetap bertanya-tanya mengapa bisa demikian itu kisahnya.

Singkat cerita, Bulan Terbelah adalah novel yang juga berperan sebagai subyek yang senantiasa bertanya kepada pembaca dalam perspektif yang beraneka rupa. Pada gilirannya, pembaca yang menemukannya, dapat mengajukan kemungkinan dan alternatif jawaban dalam segudang sudut pandang: tentang relasi jender, tentang patriarki, kognisi sosial dan wacana kritis, relasi kuasa, tentang lack dan jouissance dalam psikoanalisis Lacanian, tentang otonomi pribadi, pandangan keagamaan, dan lain-lainnya.

Sudah pasti, novel kecil ini akan berlari mencari jalannya sendiri. Para pembaca akan menemukannya dengan perspektif yang beraneka rupa. Gunawan Sudarsono sebagai penulisnya, akan kembali diajak ke ruang-ruang kelas sastra seperti sedia kala, dengan cara-cara baru dan berbeda, namun dengan esensi yang sama, mengajukan atau mendengarkan tanya, sekaligus menuai temuan-temuan baru yang beragam dan kaya. Lalu sekali lagi prosesnya akan bergulir kembali, saling belajar dan berbagi pandangan tiada henti. Bahkan, sebagai penulis, ia akan dibawa ke dalam ruang bersama yang terbuka untuk belajar lagi dari karyanya sendiri.

Gunawan Sudarsono yang telah menulis novel kecil ini dan siapapun juga yang mengambil pilihan untuk membacanya, barangkali dengan gembira hati boleh mengingat-ingat dan merasakan kuatnya makna kata-kata Yesus kepada Marta, tentang pilihan Maria,"…..tetapi hanya satu saja yang perlu, Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya." (Luk 10:42). Dalam konteks mencintai proses belajar, keputusan untuk menulis maupun membaca novel kecil ini merupakan salah satu tindakan memilih bagian terbaik yang tak akan diambil dari padanya. Semoga demikian adanya……***

Indro Suprobo, Editor