Rabu, 19 Februari 2020

Meretas Batas Antara Matematika dan Sastra



Secara pribadi, saya bersyukur telah terbit lagi sebuah antologi puisi karya seorang guru di DIY. Tepatnya, antologi puisi itu lahir dari rahim kreasi Ibu Fiati Yuwananingsih yang kelahiran Gunung-kidul dan kini bekerja sebagai guru mata pelajaran Matematika di SMPN 4 Tempel, Sleman. Dalam antologi ini, baik sebagai ibu maupun guru, beliau berhasil mencipta karya puisi sebanyak 41. Sebuah prestasi yang layak dicatat dan diapresiasi oleh para guru maupun siswa, baik di SMPN 4 Tempel, Sleman, maupun seluruh DIY.

Persoalannya, dalam proses belajar-mengajar di SMP/SMU, muncul berbagai stigma yang nyaris berkembang jadi mitos. Con-tohnya, mengenai matematika. Mata pelajaran ini sering dianggap “momok” gara-gara, konon, memelajari dan menguasainya sukar sekali. Akibatnya, matematika jarang disukai, bahkan cenderung “dibenci”. Demikian bencinya siswa-siswa dengan mata pelajaran ini sampai guru-guru matematika pun kadang ikut kena getahnya. Hubungan siswa dengan mereka jadi kurang akrab walau pribadi para guru matematika jelas tidak sekaku dan seangker mata pelajaran yang diampunya. 

Contoh kedua, pelajaran mengarang. Mulai siswa-siswa SMP/SMA, mahasiswa, guru, dosen, hingga masyarakat umum, banyak yang menganggap mengarang karya sastra (misalnya: puisi, cerpen, novel) juga sukar. Padahal, sastra sudah diperkenalkan kepada para siswa sejak Sekolah Menengah (meskipun menjadi bagian dari mata pelajaran Bahasa Indonesia), sebagaimana matematika, IPA, IPS, olahraga, agama, dan lain-lain. Menurut mereka, membuat puisi seperti diciptakan Sapardi Djoko Damono, novel karya Y.B. Mangunwijaya atau cerpen yang ditulis Kuntowijoyo, ternyata tidak gampang. Bertolak belakang sekali dengan pernyataan sas-trawan yang juga jurnalis terkenal, Arswendo Atmowiloto, dalam bukunya: “Mengarang Itu Gampang”. 

Dua kasus di atas memberikan gambaran umum mengapa dunia karang-mengarang (mencipa atau kreativitas) dan matematika tidak banyak diminati. Antara lain:

Karena matematika dan mengarang dianggap sukar, banyak kalangan (siswa/mahasiswa/guru/masyarakat umum) jadi tidak menyukainya. Karena kurang suka, mereka enggan belajar sehing-ga dari waktu ke waktu pengetahuan dan ketrampilannya tidak berkembang. 

Mereka yang mengatakan mengarang itu gampang, tentu sudah mumpuni atau terampil. Sedangkan yang menganggap me-ngarang itu sulit atau sukar, jelas karena dirinya tidak (belum) bisa melakukannya. Dengan demikian, ukuran bahwa mencipta karya sastra itu sukar atau tidak sukar, sangat tergantung dari ke-mampuan/ketrampilan pribadi masing-masing.

Karena mengarang (sastra) hanya menjadi bagian dari mata pelajaran Bahasa Indonesia, banyak siswa jadi menganggap me-ngarang itu kurang penting (kurang perlu) dibanding Bahasa Inggris, Matematika, IPA, Biologi, dan lain-lain. Juga karena me-ngarang hanya jadi mata pelajaran, bukan mengarah ke dalam praktik.

Matematika dianggap sukar karena memahami soal dan rumusnya sulit. Sedangkan mengarang dianggap sukar karena hasil karangan yang dibuat kualitasnya sulit menyamai kualitas karya pengarang yang dijadikan panutan. Baik yang sudah dibukukan atau yang dimuat lembar kebudayaan koran mingguan maupun majalah sastra.

Mereka yang menganggap mengarang itu sukar (dan benar-benar kesulitan melakukannya), besar kemungkinan modal kecer-dasan untuk mengarang sangat minim. Menurut teori kecerdasan ganda dari Howard Gardner dalam Frame of Mind: The Theory of Multiple Intelligence (1983), ada tujuh tipe kecerdasan yang dimiliki manusia dan belakangan bertambah satu lagi. Yaitu: 1) Verbal/linguistic intelligence atau kecerdasan linguistik (bahasa), 2) Musical/rhytmic intelligence atau kecerdasan musikal, 3) Logical/mathematical intelligence atau kecerdasan logika-matematika, 4) Visual/spatial intelligence atau kecerdasan visual/spasial, 5) Bodily/kinaesthetic intelligence atau kecerdasan ragawi/kinestetik, 6. Intrapersonal intelligence atau kecerdasan intrapersonal, 7) Interpersonal intelligence atau kecerdasan interpersonal, dan 8) Naturalistic intelligence, keahlian mengkategorikan spesies flora dan fauna di lingkungannya. 

Dari teori ini, dapat dibayangkan bahwa proses mengarang utamanya sangat memerlukan kecerdasan verbal/linguistic intelligence, kecerdasan intra dan interpersonal, serta kecerdasan lainnya. Kecuali (mungkin) bodily/kinaesthetic intelligence karena mengarang (mencipta) cenderung diam. Masih ditambah dimilikinya kepekaan pribadi, wawasan yang luas, kemampuan berbahasa, kemampuan berpikir dan kesabaran yang cukup untuk menunjang proses kreatif kepenulisannya. 

***

Ternyata, teori yang disampaikan Howard Gardner di atas nyaris dipatahkan, atau tidak berlaku bagi Ibu Fiati Yuwananingsih. Dengan latar pendidikan serta profesinya sebagai guru matematika, beliau justru mampu mencipta puisi, yang manakala dicermati karya-karyanya sudah menunjukkan pencapaian yang cukup berhasil. Karena dalam puisi-puisinya, terasa beliau sudah menemukan “momentum puitik” yang diwujudkan dalam bahasa (teks) yang singkat, padat, mempunyai kandungan nilai estetika dan ke-manusiaan tinggi. 

Sementara puisi-puisi dalam antologi ini juga telah menerapkan teknik penulisan puisi yang lumayan baik dan benar. Yakni, menya-takan suatu persoalan (permasalahan) secara tidak langsung dengan menggunakan bahasa puitik (bukan verbal) atau kata-kata yang bernilai rasa tinggi. Misalnya, melalui ungkapan (imaji), serta pemakaian gaya bahasa. Antara lain dengan memraktikkan penggunaan: 1) distorting of meaning (penyimpangan arti, seperti penggunaan ambiguitas dan kontradiksi), 2) displacing of meaning (penggantian arti, misalnya dengan menggunakan metafor dan metonimia), 3) creating of meaning (pengorganisasian teks di luar lingkup linguistik, seperti persajakan dan rima). 

Selanjutnya, manakala dikaji menggunakan kriteria penulisan puisi yang lazim dipakai dalam berbagai even lomba, karya Ibu Fiati Yuwananingsih dalam antologi ini juga telah mengisyaratkan adanya kelayakan ungkapan sebagai puisi yang baik. Misalnya, puisi yang baik tersebut memiliki kriteria: 

Memiliki harmoni antara wujud dan isi. Artinya, terjadi keseimbangan, atau ikatan yang indah dan serasi antara pesan yang disampaikan dengan cara menyampaikannya. Contohnya pada puisi “Layang-layang”. Pada bait pertama terdapat ungkapan: “Di pinggir lapangan aku duduk sendiri/Menikmati layang-layang yang menari-nari di tempat tinggi/Dikendalikan dengan menarik ulur tali pengendali agar hembusan angin dapat diimbangi/Sama dengan manusia/Diperlukan pengendalian diri menghadapi kehidupannya/Agar tidak terhempas karena masalah yang diterima.”

Pilihan dan penggunaan kata, bahasa, serta ungkapannya terasa pas (tepat). Sehingga tidak menjadi puisi gelap (obscure) atau sangat verbal, melainkan bersifat transparan. Contohnya pada puisi “Museum Vulkanologi”. Pada bait terakhirnya disajikan ungkapan yang pas dan serasi, berbunyi: ”Dengan melihat foto-foto peristiwa letusan dahsyat Merapi/ Menggunakan miniatur gunung Merapi/Ia menyusuri aliran lahar dengan jari/Aku tunjukkan rute pendakian yang resmi/Barangkali saatnya nanti ia ingin mencapai puncak Merapi.”

Greget kepenyairan terasa. Puisi memiliki roh atau power (kekuatan/élan vital) yang berasal dari energi penyair yang mewujud (mengejawantah) ke dalam berbagai unsur ke-puisian yang diciptakan. Contohnya pada puisi “Benteng Vredenburg”. Di sana terpapar jelas kekuatan penyair dalam menyatakan pesan menggunakan ungkapan puitik pribadinya. Artinya, dia tidak sedang menulis prosa atau nasihat, melainkan benar-benar menuangkan ide-idenya dalam bentuk puisi. “Jangan hanya batik dan pernak-pernik yang kau buru/Cobalah cari cerita seru untuk buah tanganmu/ Masuklah ke beteng Vredenburg, akan kau dapatkan itu/Kau dapat melihat film dokumenter di ruang pengenalan/Dengan media interaktif bisa juga memilih penggalan sejarah yang kau inginkan/Diorama-diorama menggambarkan perjuangan memperoleh kemerdekaan Indonesia.”

Terbayang otentisitas penyajian. Pesan maupun gaya kepenulisannya murni hasil penggalian kreativitas pribadi, bukan plagiasi. Artinya, memiliki orisinalitas yang tidak terdapat pada puisi karya orang lain. Contohnya pada puisi “Maafkan Aku”. Di sini ada ungkapan khas yang terasa otentik digali dan ditemukan dari hasil kreativitas pribadi. Sebuah pernyataan yang berbunyi: “Guruku/maafkan aku/ Jika semua itu aku lakukan padamu/Doaku semoga engkau selalu sabar dan tegar dengan sikapku/Kelak surga menjadi tempat tinggalmu.”

Ada pandangan (baru) yang ditawarkan. Artinya, tidak melakukan pengulangan (duplikasi) terhadap tema atau pemikiran yang telah digarap banyak orang. Contohnya pada puisi “Cadar”. Di sini terpampang jelas pandangan uniknya mengenai fenomena kehidupan yang ditemui. Pada bait pertama diutarakan: “Selalu bersama/Bergandeng tangan menyusuri jalan berdua/Menikmati indahnya semesta yang tiada duanya/Di bumi khatulistiwa.” Sedang pada bait terakhir disajikan realitas baru yang menarik: “Bumi diciptakan bundar/Setelah kita berpencar, kita berpapasan tanpa sadar/Hati pun bergetar/Namun mata tak mampu menembus wajah bercadar.”

Merangsang renungan lebih jauh tentang kehidupan. Memberikan pencerahan terhadap pembaca, sehingga pembaca terdorong untuk melakukan pemikiran positif ke depan. Contohnya pada puisi “Saat Jatuh”. Pada bait terakhirnya muncul ungkapan yang merangsang pencerahan sekaligus mirip petuah: “Kamu dapat mengingatkan diri sendiri/Melangkah hati-hati/Agar tidak terulang jatuh kembali.”

Demikian catatan singkat mengenai puisi-puisi Ibu Fiati Yuwananingsih dalam antologi ini. Semoga menjadi referensi literasi positif bagi para guru lain, juga para siswa, untuk mengukiti jejak-tapak beliau dalam berkreasi di bidang sastra, khususnya puisi.


Iman Budhi Santosa, adalah sastrawan

tinggal di Yogyakarta