Kamis, 06 Juli 2023

Sesesionisme Rasial dan Nalar Kolonial




Judul Buku: Irian Barat, Sesesionisme Rasial atau Pembebasan Nasional?
Penulis: Tatiana Lukman
Editor: Indro Suprobo
Penerbit: Kunca Wacana dan Resist Book
Ukuran: 14 x 20 cm, xviii + 316 hlm
Terbit: Juli 2023


 Irian Barat yang sekarang disebut sebagai Papua, pada masa lalu merupakan bagian dari Hindia Belanda. Ketika Republik Indonesia menyatakan kemerdekaannya melalui proklamasi tanggal 17 Agustus 1945, pejuang kemerdekaan dari Irian Barat, yakni Frans Kaisiepo, mengadakan sebuah upacara, lengkap dengan pengibaran bendera Merah Putih dan mengumandangkan lagu “Indonesia Raya”. Ini dilakukannya di Biak pada tanggal 31 Agustus 1945. Padahal 31 Agustus biasanya diperingati sebagai “Hari Ratu” (Koningin Dag), hari kelahiran Ratu Wilhelmina. Ini menunjukkan bahwa sudah sejak semula, kaum pergerakan kemerdekaan Republik Indonesia meliputi seluruh kaum pergerakan kemerdekaan di wilayah Hindia Belanda, termasuk Frans Kaisiepo di Irian Barat. Maka kenyataan upacara proklamasi kemerdekaan di Biak pada tanggal 31 Agustus 1945 itu merupakan wujud dukungan terhadap kemerdekaan Republik Indonesia yang meliputi seluruh wilayah bekas Hindia Belanda, dan merupakan bagian tak terpisahkan dari seluruh pergerakan kemerdekaan Indonesia. Pelaksanaan upacara kemerdekaan de-ngan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya pada tanggal 31 Agustus yang bertepatan dengan peringatan "Hari Ratu" (Koningin Dag), merupakan sebuah tindakan revolusioner, penuh keberanian, dan dapat dibaca sebagai pernyataan perlawanan yang tegas. Secara implisit, tindakan itu merupakan ungkapan yang lantang bahwa "kami bukanlah bagian dari kekuasaan Ratu Belanda, karena kami adalah bangsa yang merdeka, yakni bangsa yang disebut sebagai Republik Indonesia".

Dari sisi hukum internasional, terutama di dalam prinsip yang disebut sebagai Uti Possidetis Juris (UPJ)[1], ketika Republik Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, maka wilayah yang disebut merdeka itu adalah wilayah yang mencakup seluruh bagian dari bekas jajahan Belanda yang dinamakan Hindia Belanda. Dalam prinsip ini, Irian Barat, yang sekarang disebut Papua, dengan sendirinya termasuk di dalam wilayah Republik Indonesia. 

Menghadapi kuatnya dukungan dari berbagai gerakan pro-kemerdekaan RI di berbagai wilayah ini, pemerintah kolonial Belanda, melalui Gubernur Jenderal Van Mook berupaya untuk melakukan rekolonisasi dengan cara membangun negara-negara boneka di bawah naungan Kerajaan Belanda. Maka setelah melalui konferensi Malino, pada tanggal 24 Desember 1946 dibentuklah Negara Indonesia Timur namun tanpa memasukkan Irian Barat di dalamnya, karena berencana memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Belanda. Rencana ini di kemudian hari diwujudkan dengan pembentukan Dewan New Guinea dengan restu dari Belanda. Nicolaas Jouwe, wakil presiden dari Dewan New Guinea, sesuai dengan pengakuannya sendiri, setelah diindoktrinasi dan diberi janji kemerdekaan bagi Irian Barat dan kedudukan sebagai presiden, pada 1 Desember 1961 akhirnya mendeklarasikan "kemerdekaan" Papua. Sementara presidennya sendiri, Frits Sollewijn Gelpke, adalah seorang pegawai negeri kerajaan Belanda. Lebih menarik lagi, seperti dinyatakan juga oleh Nicolaas Jouwe di kemudian hari, pada tahun 1965, bersamaan dengan peristiwa Gerakan 30 September, para serdadu dan opsir Belanda mendirikan Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk memusuhi Indonesia dan mengganggu keamanan di wilayah paling timur NKRI itu. Nicolaas secara jelas menyatakan bahwa OPM lahir bukan dari keinginan bangsa Papua, melainkan dari pikiran beberapa orang serdadu, semua orang Papua tidak tahu. OPM dibentuk oleh suatu golongan kecil, awalnya korps sukarelawan.

Jika dicermati secara jeli, pemisahan Irian Barat dari Negara Indonesia Timur pada tahun 1946, pembentukan Dewan New Guinea yang mendeklarasikan "kemerdekaan Papua" tahun 1961, dan pembentukan Organisasi Papua Merdeka pada tahun 1965, semuanya itu dilakukan oleh pemerintah Kerajaan Belanda, atau dalam restu Pemerintah Kerajaan Belanda, atau oleh para serdadu serta opsir Belanda. Semuanya itu berada di dalam konstruksi nalar kekuasaan Belanda. Barangkali bolehlah dinyatakan di sini bahwa seluruh gagasan tentang pemisahan Irian Barat atau Papua dari negara kesatuan Republik Indonesia, meskipun di dalamnya melibatkan orang-orang lokal yang bukan orang Belanda, adalah cerminan yang sangat nyata dari nalar kekuasaan kolonial, yang di dalamnya tersembunyi kepentingan-kepentingan kolonial pula. Seluruh gagasan tentang pemisahan itu merupakan bagian dari nalar kolonial. Jika demikian, sejatinya ini adalah wujud nyata dari penjajahan sejak di dalam pikiran dan di dalam konstruksi pengetahuan. 

Secara sengaja, untuk mengungkapkan gagasan tentang pemisahan diri itu, buku ini memilih istilah sesesionisme [2] untuk membedakan diri dari istilah "separatisme" yang sudah lazim digunakan oleh kalangan militer Indonesia. Pilihan istilah ini merupakan upaya pengambilan jarak kritis terhadap nalar militeristik yang selama ini terjadi. Seluruh paparan dan argumentasi di dalam buku ini secara jelas mengambil jarak terhadap nalar militeristik yang terjadi selama ini. Maka penulisan buku ini juga bukan merupakan bagian dari dukungan terhadap narasi-narasi yang bersifat militeristik terhadap Papua dan tidak memiliki kaitan dengan kepentingan politik militer Indonesia.

Maka sangat dipahami bahwa buku ini juga sangat berempati terhadap kompleksitas dan akumulasi persoalan hak asasi manusia yang dihadapi oleh masyarakat Papua dan menempatkannya sebagai bagian dari kompleksitas persoalan hak asasi manusia yang juga dihadapi oleh banyak kelompok masyarakat lain di seluruh wilayah Indonesia baik dari sisi geografis maupun kategorial. Dalam konteks itu, persoalan hak asasi manusia sudah semestinya dihadapi dan diselesaikan bersama sebagai kesatuan bangsa Indonesia, bukan dengan solusi sesesionisme berdasarkan ras. Oleh karena itu seluruh landasan argumentasi rasial dan konstruksi nalar kolonial tentang self determination yang selama ini digunakan oleh para pendukung sesesionisme ini pantas dievaluasi dan dianalisis secara lebih kritis. Seluruh konstruksi stereotyping tentang ras dan suku lain di Indonesia oleh para pendukung sesesionisme rasial ini juga pantas dikritisi dan dievaluasi supaya tidak terus-menerus menjadi reproduksi prasangka yang menghancurkan relasi manusiawi antar sesama anak bangsa. Diperlukan analisis yang lebih terpilah, distinct, terfokus, dan cermat, serta bersih dari segala prasangka sehingga dapat menemukan solusi-solusi yang lebih tepat dan tajam. Akumulasi dan kompleksitas persoalan hak asasi manusia Papua bukanlah hanya menjadi persoalan manusia Papua, melainkan juga merupakan persoalan bagi seluruh bangsa yang membutuhkan keseriusan, konsistensi dan komitmen untuk menyelesaikannya karena tingkat kesulitannya juga sangat berat. 

Kritik yang disampaikan oleh buku ini terhadap cara berpikir dan gerakan sesesionisme rasial Papua bukanlah sebuah serangan untuk menghancurkan saudara sebangsa, melainkan sebuah peringatan bahwa warga bangsa yang lain di berbagai daerah dengan beragam kategori juga menghadapi persoalan-persoalan yang sama, yang membutuhkan jaringan dan kerjasama untuk menemukan, dan memulai pekerjaan-pekerjaan konkret sebagai jalan solusi demi menyelesaikan persoalan yang dihadapi bersama.  Kritik yang dikemukakan oleh buku ini adalah sebuah undangan untuk tidak melupakan perjalanan dan perjuangan panjang kaum pergerakan sejak masa-masa sebelum kemerdekaan bahwa yang dihadapi bersama-sama adalah nalar dan kepentingan kaum kolonial untuk terus-menerus merampas kemerdekaan dan senantiasa melakukan penjajahan sejak di dalam pikiran. 

Secara tegas buku ini mengajak dan mengundang seluruh generasi pembaca, terutama generasi pembaca muda untuk secara lebih jeli mewaspadai kerja-kerja kekuasaan kolonial yang soft dan tersembunyi di dalam konstruksi-konstruksi nalar dan pengetahuan. Menelusuri jejak dan peta jalan sejarah pemikiran kaum pergerakan, merupakan salah satu cara untuk mewaspadainya. Semoga generasi pembaca muda di masa kini dan di masa depan semakin sanggup untuk melepaskan diri dari warisan nalar kolonial. 


Indro Suprobo

Editor


[1] Uti Possidetis Juris (UPJ) adalah asas hukum kebiasaan internasional yang membantu mempertahankan batas-batas koloni yang menjadi negara merdeka. Prinsip ini pertama kali digunakan untuk menetapkan batas wilayah yang baru merdeka di Amerika Latin, tetapi sekarang digunakan di belahan dunia lain, terutama di Afrika.

Tujuan UPJ adalah untuk mencegah konflik perbatasan yang dapat mengancam stabilitas negara baru. Ketika sebuah koloni merdeka, UPJ memastikan bahwa perbatasan yang ditetapkan oleh kekuatan kolonial sebelumnya itu, dihormati. Hal ini membantu mencegah perselisihan atas tanah dan sumber daya yang dapat mengarah pada kekerasan.

Misalnya, ketika Spanyol melepaskan kendali atas koloninya di Amerika Latin, UPJ digunakan untuk menetapkan perbatasan negara bagian baru. Ini mencegah negara lain untuk mencoba mengklaim tanah yang telah diberikan ke salah satu negara bagian baru.

Contoh lain adalah kasus Burkina Faso dan Mali. Pada tahun 1986, Mahkamah Internasional menggunakan UPJ untuk menyelesaikan sengketa perbatasan mereka. Pengadilan memutuskan bahwa perbatasan harus didasarkan pada perbatasan yang telah ditetapkan oleh bekas kekuatan kolonial, Perancis.

Secara keseluruhan, UPJ merupakan prinsip penting yang membantu menjaga perdamaian dan stabilitas di negara-negara yang baru merdeka. Dengan menghormati perbatasan yang ditetapkan oleh bekas kekuatan kolonial, UPJ membantu mencegah konflik atas tanah dan sumber daya. Lih. https://www.lsd.law/define/uti-possidetis-juris (diakses 4 Juli 2023).

[2] Sesesionisme (secession atau secessionism) adalah gerakan pemisahan diri suatu wilayah dan orang-orang yang tinggal di wilayah itu dari kedaulatan negara yang sudah ada dan berupaya membentuk negara baru yang merdeka dengan kedaulatan atas wilayah itu dan atas rakyat yang tinggal di wilayah itu. Lih. SORENS, JASON. “INTRODUCTION: Understanding Secession.” Secessionism: Identity, Interest, and Strategy, McGill-Queen’s University Press, 2012, pp. 3–51. JSTOR, http://www.jstor.org/stable/j.ctt1283bh.4. Accessed 5 July 2023. Mereka yang melakukan gerakan ini disebut sebagai kaum sesesionis (secessionist).