Kamis, 29 Februari 2024

The Tao Of Bamboo Nggelar Nggulung Ngelar Jagad

 



Judul Buku: The Tao of Bamboo, Nggelar Nggulung Ngelar Jagad
Penulis: Widya Poerwoko & Elizabeth D. Inandiak
Editor: Tim Ruas Bambu Nusa dan Indro Suprobo
Penerbit: Kunca Wacana
Ukuran: 14 x 21 cm, viii + 72 hlm
Terbit: Maret 2024


The Tao of Bamboo atau Nggelar Nggulung Ngelar Jagad adalah narasi reflektif figuratif tentang silat, bambu, dan alam yang diolah menjadi karya seni hayati, Eco-Art. Ia dihadirkan, berwujud dan meruang, tumbuh seiring dan bersatu padu dengan kehidupan masyarakat, kebudayaan, serta alam selingkupnya. 

Nggelar Nggulung Ngelar Jagad yang dinarasikan di dalam buku ini adalah sebuah paparan reflektif figuratif tentang perjalanan dan dialog bersama dengan pengalaman hidup dan alam sekitar, terutama bersama tanaman bambu yang memiliki keunikan dan menyediakan inspirasi yang kaya. Bambu menyimpan kekayaan nilai dan inspirasi di dalamnya yang memberi jalan bagi lubernya ekspresi estetik hayati dalam bentuk seni-hayati atau eco-art, yang menghadirkan refleksi kritis serta penerimaan diri sekaligus orientasi visioner ideal tentang kehidupan.

Narasi tentang The Tao of Bamboo dalam buku ini adalah sebuah narasi tentang hidup yang sebenarnya tak pernah sendirian, melainkan senantiasa berada dalam jaring persahabatan, terutama persahabatan antara subyek manusia dan tanaman bambu. Sebagai makhluk hidup, tanaman bambu memiliki cara unik untuk berinteraksi dengan mahkluk lain, menjadi mitra bagi manusia. Ia menjalankan tugas tanpa ego, tanpa keinginan pribadi. Ia bahkan mengabdi, dengan rela selalu memulihkan bu-mi yang dirusak oleh sifat rakus dan ekstratif penghuni liarnya. Itulah spiritualitas bambu yang dapat dipetik melalui dialog dan persahabatan yang intens dan mendalam.

Narasi tentang The Tao of Bamboo, adalah sebuah cermin yang merefleksikan kompleksitas perjalanan hidup atau sketsa hikayat hidup penulisnya sendiri. Hikayat hidup itu direfleksikan, dikuliti, dipantau dalam jarak, dievaluasi, ditemukan sisi tragedinya, diperbandingkan dengan visi ideal yang ditemukan dalam kesadaran dan menjadi orientasi, lalu dilahirkan kembali dalam ekspresi seni hayati (eco-art) yang bersifat metaforis, figuratif sekaligus paradoksal. Ia bersifat metaforis dan figu-ratif karena sifatnya yang hendak menggambarkan atau melu-kiskan pengalaman dan temuan nilai hidup yang tak dapat diungkapkan secara persis seperti apa adanya, melainkan sebagai penafsiran maknawi tentangnya. Ia bersifat paradoksal karena mengungkapkan makna substansial bukan dari wajah aselinya melainkan dari pantulan cermin yang sebaliknya, di mana kiri dipandang dari kanan, atas disorot dari bawah, depan didekati dari belakang, keterbukaan dipahami dari ketertutupannya, keikhlasan dicermati melalui hasrat, keseimbangan disadari melalui jebakan dikotomis, kesadaran ditelusuri dari kemabukan, orientasi diyakinkan melalui kesuwungan atau disorientasi, kecerdasan batin didedah melalui sisi penderitaan, perwujudan tindakan ditegaskan melalui kemandegan, keragaman diperkenalkan melalui keseragaman, dan keterhubungan dikukuhkan melalui sisi keterpisahan atau diskoneksitas. Sisi-sisi paradoksal ini menarasikan tentang lansekap batin penulis yang mengungkapkan jalan bertabur kebingungan, kegagalan, keserakahan, kerugian, dan kesesatan yang telah disadari dan direfleksikan. 

Seluruh narasi tentang The Tao of Bamboo ini pada akhirnya merupakan suatu bentuk penerimaan diri, pengakuan dan keterbukaan bahwa pilihan-pilihan jalan manusia itu bisa keliru, berbelok, kehilangan orientasi dan terjatuh, namun manusia tetap dapat selalu lahir kembali, bangkit berdiri dan berjalan lagi dalam keikhlasan, keterbukaan diri, dan keberanian. Seluruh narasi dalam buku ini boleh dikatakan merupakan kesaksian bahwa yang paling penting dalam perjalanan adalah jangan pernah merasa takut untuk terjatuh, karena hidup akan terus-menerus menjadi lebih bermakna ketika manusia memiliki keberanian untuk bangun kembali dan menapaki langkah baru. 

Nggelar, nggulung, ngelar jagad adalah sebuah keikhlasan untuk senantiasa terbuka kepada banyak kemungkinan dan keba-haruan sehingga kekayaan makna kehidupan semakin dapat ditemukan, diteguhkan, direnung-renungkan, lalu dibagikan. Itulah kekayaan dan kelenturan kehidupan yang pantas untuk dijalani dengan keberanian. 

Senin, 13 November 2023

Kuasa Stigma dan Represi Ingatan

 



Judul Buku: Kuasa Stigma dan Represi Ingatan
Penulis: St. Tri Guntur Narwaya
Editor: Dian Yanuardi
Penerbit: Kunca Wacana
Ukuran: 14 x 21 cm, xxii + 222 hlm
Terbit: November 2023


Memonopoli sejarah adalah salah satu cara untuk menguasai ingatan dan pengetahuan masyarakat. Manifestasi inilah yang disebut Althusser sebagai mekanisme ’aparatus ideologis’. Ia menggiring kepatuhan dengan sukarela. Ia bekerja pada ranah-ranah gagasan, pengetahuan dan kesadaran sublim masayarakat. Jika massa percaya buta yang dituturkan ’sejarah resmi’, sudah cukup menjadi modal ’loyalitas’. Kekuasaan tidak lagi perlu me perlurusan sejarah nunjukan rupa angker dengan gertakan senjata. Apa yang dibayangkan Michel Foucault bisa menjadi berguna. Pengetahuan sangatlah  efektif membangun kepatuhan sukarela. Oleh sebabnya jika sejarah adalah soal penguasaan pengetahuan, maka bagi kekuasaan, monopoli pengetahuan tentu saja penting untuk dirawat dan dijaga walau apapun resikonya. 

Kekuasaan sering berjalan tidak dalam garis lurus. Kekuasaan bisa menyebar pada seluruh pola interaksi dan relasi massa. Keragaman struktur, sistem dan aktor menyebabkan kekuasan lihai untuk beroperasi. Dari kerja paling ’vulgar’ sampai yang ’sublim’, bisa dilakukan. Bertahannya ’stigma’ beroleh dari interaksi keduanya. Stigma butuh harapan sekaligus ketidakpercayaan. Ia butuh mesin ’ketakutan’ sekaligus ’harapan’ tempat berlindung. Ia butuh kuatnya pemaksaan tetapi sekaligus ruang penghiburan. Seperti mesin iklan, ia bisa mengabarkan penyakit sekaligus obat penenangnya. Dia bisa memprovokasi ketakutan dan sekaligus menciptakan kecanduan. Batas antara ’yang takut’ dan ’yang patuh’ terkadang tumpang tindih.

Relevansi penting “kesadaran sintagmatik” dalam analisis sosial kemanusiaan adalah memberikan kesadaran masyarakat untuk tidak letih mencari dalam upaya merekonstruksi  tanda. Dengannya, setiap tanda akan bermakna dan bisa diterima secara rasional. Mematahkan kuasa wacana bisa dikerjakan dengan membuka ruang dan kesempatan semua orang untuk mampu bertutur secara terbuka dan demokratis. Tutur kebenaran tanpa dominasi perlu terusmenerus dikembangkan. Sehingga ‘kesadaran simbolik’, ‘kesadaran paradigmatik’. Dan ‘kesadaran sintagmatik’ mampu menjadi sarana yang positif untuk menemukan kebermaknaan setiap makna sejarah. Tentu proses ini tidak sebentar. Dalam prakteknya, tindakan ini akan bersentuhan dengan tanda-tanda lain yang juga berkembang. Ia tidak berjalan dalam alur yang linier tetapi selalu berdialektika  dengan berbagai relasi tanda. 

Lebih jauh dari apa yang sudah diletakan Roland Barthes, gagasan buku ini ingin memperluas analisis bagaimana ‘dominasi tanda’ dipraktikan sebagai modus paling efektif untuk membangun ‘relasi asimetris kekuasaan’. Gagasan buku ini berangkat dari pengamatan perkembangan ‘tanda’ dan ‘teks’ secara historis. Tidak sekedar menjangkau problem internal teks, tetapi memperluas pada pengaruh konteks historis. Secara khusus, berangkat dari setting sosial historis tersebut, buku ini secara ilmiah berharap bisa mengurai dengan mendalam praktik ‘pelanggengan’ wacana ‘antikomunis’. Bagaimana teks, wacana, simbol-simbol dan lambang-lambang telah direproduksi, didistribusikan dan menjalar teresepsi dalam masyarakat adalah pengamatan pokoknya. Buku ini ingin juga melihat bagaimana ‘korban’ menginterpretasi ulang terhadap stigma yang dilabelkan pada mereka.

Matinya Ilmu Komunikasi

 


Judul Buku: Matinya Ilmu Komunikasi
Penulis: St. Tri Guntur Narwaya
Editor: Dian Yanuardi
Penerbit: Kunca Wacana
Ukuran: 14 x 21 cm, xv + 230 hlm
Terbit: November 2023


Ilmu komunikasi sangat berkembang dan diminati oleh banyak orang. Tentu saja ada alasan obyektif maupun subyektif mengapa ilmu yang relatif masih muda ini menjadi program studi yang terpilih di antara program studi yang lain. Apakah ilmu itu memang jawaban dari tuntutan perkembangan masyarakat dewasa ini, atau karena ilmu itu menjadi investasi produktif untuk mendukung berjalannya sistem sosial yang ada. Tak ada salahnya mengajukan pertanyaan kritis atas tendensi kemapamnan yang merasuki ilmu-ilmu sosial saat ini.Sikap skeptis tentu merupakan watak dasar yang harus dimiliki oleh kaum intelektual untuk menjaga munculnya potensi absolutisme pengetahuan, termasuk dalam ilmu komunikasi.

Tulisan dalam buku ini merupakan refleksi kritis atas terperosoknya ilmu komunikasi ke dalam arogansi positivisme. Dimulai dari metanarasi ilmu pengetahuan sampai pada kritik paradigma, karya ini merupakan ungkan dan cara untuk melawan teks-teks pengetahuan yang saat ini sudah mapan. Karya ini sungguh  merupakan kegelisahan dan kegeraman penulis menyaksikan betapa ilmu ini telah mandul menjawab perubahan sosial. 

Kamis, 06 Juli 2023

Sesesionisme Rasial dan Nalar Kolonial




Judul Buku: Irian Barat, Sesesionisme Rasial atau Pembebasan Nasional?
Penulis: Tatiana Lukman
Editor: Indro Suprobo
Penerbit: Kunca Wacana dan Resist Book
Ukuran: 14 x 20 cm, xviii + 316 hlm
Terbit: Juli 2023


 Irian Barat yang sekarang disebut sebagai Papua, pada masa lalu merupakan bagian dari Hindia Belanda. Ketika Republik Indonesia menyatakan kemerdekaannya melalui proklamasi tanggal 17 Agustus 1945, pejuang kemerdekaan dari Irian Barat, yakni Frans Kaisiepo, mengadakan sebuah upacara, lengkap dengan pengibaran bendera Merah Putih dan mengumandangkan lagu “Indonesia Raya”. Ini dilakukannya di Biak pada tanggal 31 Agustus 1945. Padahal 31 Agustus biasanya diperingati sebagai “Hari Ratu” (Koningin Dag), hari kelahiran Ratu Wilhelmina. Ini menunjukkan bahwa sudah sejak semula, kaum pergerakan kemerdekaan Republik Indonesia meliputi seluruh kaum pergerakan kemerdekaan di wilayah Hindia Belanda, termasuk Frans Kaisiepo di Irian Barat. Maka kenyataan upacara proklamasi kemerdekaan di Biak pada tanggal 31 Agustus 1945 itu merupakan wujud dukungan terhadap kemerdekaan Republik Indonesia yang meliputi seluruh wilayah bekas Hindia Belanda, dan merupakan bagian tak terpisahkan dari seluruh pergerakan kemerdekaan Indonesia. Pelaksanaan upacara kemerdekaan de-ngan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya pada tanggal 31 Agustus yang bertepatan dengan peringatan "Hari Ratu" (Koningin Dag), merupakan sebuah tindakan revolusioner, penuh keberanian, dan dapat dibaca sebagai pernyataan perlawanan yang tegas. Secara implisit, tindakan itu merupakan ungkapan yang lantang bahwa "kami bukanlah bagian dari kekuasaan Ratu Belanda, karena kami adalah bangsa yang merdeka, yakni bangsa yang disebut sebagai Republik Indonesia".

Dari sisi hukum internasional, terutama di dalam prinsip yang disebut sebagai Uti Possidetis Juris (UPJ)[1], ketika Republik Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, maka wilayah yang disebut merdeka itu adalah wilayah yang mencakup seluruh bagian dari bekas jajahan Belanda yang dinamakan Hindia Belanda. Dalam prinsip ini, Irian Barat, yang sekarang disebut Papua, dengan sendirinya termasuk di dalam wilayah Republik Indonesia. 

Menghadapi kuatnya dukungan dari berbagai gerakan pro-kemerdekaan RI di berbagai wilayah ini, pemerintah kolonial Belanda, melalui Gubernur Jenderal Van Mook berupaya untuk melakukan rekolonisasi dengan cara membangun negara-negara boneka di bawah naungan Kerajaan Belanda. Maka setelah melalui konferensi Malino, pada tanggal 24 Desember 1946 dibentuklah Negara Indonesia Timur namun tanpa memasukkan Irian Barat di dalamnya, karena berencana memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Belanda. Rencana ini di kemudian hari diwujudkan dengan pembentukan Dewan New Guinea dengan restu dari Belanda. Nicolaas Jouwe, wakil presiden dari Dewan New Guinea, sesuai dengan pengakuannya sendiri, setelah diindoktrinasi dan diberi janji kemerdekaan bagi Irian Barat dan kedudukan sebagai presiden, pada 1 Desember 1961 akhirnya mendeklarasikan "kemerdekaan" Papua. Sementara presidennya sendiri, Frits Sollewijn Gelpke, adalah seorang pegawai negeri kerajaan Belanda. Lebih menarik lagi, seperti dinyatakan juga oleh Nicolaas Jouwe di kemudian hari, pada tahun 1965, bersamaan dengan peristiwa Gerakan 30 September, para serdadu dan opsir Belanda mendirikan Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk memusuhi Indonesia dan mengganggu keamanan di wilayah paling timur NKRI itu. Nicolaas secara jelas menyatakan bahwa OPM lahir bukan dari keinginan bangsa Papua, melainkan dari pikiran beberapa orang serdadu, semua orang Papua tidak tahu. OPM dibentuk oleh suatu golongan kecil, awalnya korps sukarelawan.

Jika dicermati secara jeli, pemisahan Irian Barat dari Negara Indonesia Timur pada tahun 1946, pembentukan Dewan New Guinea yang mendeklarasikan "kemerdekaan Papua" tahun 1961, dan pembentukan Organisasi Papua Merdeka pada tahun 1965, semuanya itu dilakukan oleh pemerintah Kerajaan Belanda, atau dalam restu Pemerintah Kerajaan Belanda, atau oleh para serdadu serta opsir Belanda. Semuanya itu berada di dalam konstruksi nalar kekuasaan Belanda. Barangkali bolehlah dinyatakan di sini bahwa seluruh gagasan tentang pemisahan Irian Barat atau Papua dari negara kesatuan Republik Indonesia, meskipun di dalamnya melibatkan orang-orang lokal yang bukan orang Belanda, adalah cerminan yang sangat nyata dari nalar kekuasaan kolonial, yang di dalamnya tersembunyi kepentingan-kepentingan kolonial pula. Seluruh gagasan tentang pemisahan itu merupakan bagian dari nalar kolonial. Jika demikian, sejatinya ini adalah wujud nyata dari penjajahan sejak di dalam pikiran dan di dalam konstruksi pengetahuan. 

Secara sengaja, untuk mengungkapkan gagasan tentang pemisahan diri itu, buku ini memilih istilah sesesionisme [2] untuk membedakan diri dari istilah "separatisme" yang sudah lazim digunakan oleh kalangan militer Indonesia. Pilihan istilah ini merupakan upaya pengambilan jarak kritis terhadap nalar militeristik yang selama ini terjadi. Seluruh paparan dan argumentasi di dalam buku ini secara jelas mengambil jarak terhadap nalar militeristik yang terjadi selama ini. Maka penulisan buku ini juga bukan merupakan bagian dari dukungan terhadap narasi-narasi yang bersifat militeristik terhadap Papua dan tidak memiliki kaitan dengan kepentingan politik militer Indonesia.

Maka sangat dipahami bahwa buku ini juga sangat berempati terhadap kompleksitas dan akumulasi persoalan hak asasi manusia yang dihadapi oleh masyarakat Papua dan menempatkannya sebagai bagian dari kompleksitas persoalan hak asasi manusia yang juga dihadapi oleh banyak kelompok masyarakat lain di seluruh wilayah Indonesia baik dari sisi geografis maupun kategorial. Dalam konteks itu, persoalan hak asasi manusia sudah semestinya dihadapi dan diselesaikan bersama sebagai kesatuan bangsa Indonesia, bukan dengan solusi sesesionisme berdasarkan ras. Oleh karena itu seluruh landasan argumentasi rasial dan konstruksi nalar kolonial tentang self determination yang selama ini digunakan oleh para pendukung sesesionisme ini pantas dievaluasi dan dianalisis secara lebih kritis. Seluruh konstruksi stereotyping tentang ras dan suku lain di Indonesia oleh para pendukung sesesionisme rasial ini juga pantas dikritisi dan dievaluasi supaya tidak terus-menerus menjadi reproduksi prasangka yang menghancurkan relasi manusiawi antar sesama anak bangsa. Diperlukan analisis yang lebih terpilah, distinct, terfokus, dan cermat, serta bersih dari segala prasangka sehingga dapat menemukan solusi-solusi yang lebih tepat dan tajam. Akumulasi dan kompleksitas persoalan hak asasi manusia Papua bukanlah hanya menjadi persoalan manusia Papua, melainkan juga merupakan persoalan bagi seluruh bangsa yang membutuhkan keseriusan, konsistensi dan komitmen untuk menyelesaikannya karena tingkat kesulitannya juga sangat berat. 

Kritik yang disampaikan oleh buku ini terhadap cara berpikir dan gerakan sesesionisme rasial Papua bukanlah sebuah serangan untuk menghancurkan saudara sebangsa, melainkan sebuah peringatan bahwa warga bangsa yang lain di berbagai daerah dengan beragam kategori juga menghadapi persoalan-persoalan yang sama, yang membutuhkan jaringan dan kerjasama untuk menemukan, dan memulai pekerjaan-pekerjaan konkret sebagai jalan solusi demi menyelesaikan persoalan yang dihadapi bersama.  Kritik yang dikemukakan oleh buku ini adalah sebuah undangan untuk tidak melupakan perjalanan dan perjuangan panjang kaum pergerakan sejak masa-masa sebelum kemerdekaan bahwa yang dihadapi bersama-sama adalah nalar dan kepentingan kaum kolonial untuk terus-menerus merampas kemerdekaan dan senantiasa melakukan penjajahan sejak di dalam pikiran. 

Secara tegas buku ini mengajak dan mengundang seluruh generasi pembaca, terutama generasi pembaca muda untuk secara lebih jeli mewaspadai kerja-kerja kekuasaan kolonial yang soft dan tersembunyi di dalam konstruksi-konstruksi nalar dan pengetahuan. Menelusuri jejak dan peta jalan sejarah pemikiran kaum pergerakan, merupakan salah satu cara untuk mewaspadainya. Semoga generasi pembaca muda di masa kini dan di masa depan semakin sanggup untuk melepaskan diri dari warisan nalar kolonial. 


Indro Suprobo

Editor


[1] Uti Possidetis Juris (UPJ) adalah asas hukum kebiasaan internasional yang membantu mempertahankan batas-batas koloni yang menjadi negara merdeka. Prinsip ini pertama kali digunakan untuk menetapkan batas wilayah yang baru merdeka di Amerika Latin, tetapi sekarang digunakan di belahan dunia lain, terutama di Afrika.

Tujuan UPJ adalah untuk mencegah konflik perbatasan yang dapat mengancam stabilitas negara baru. Ketika sebuah koloni merdeka, UPJ memastikan bahwa perbatasan yang ditetapkan oleh kekuatan kolonial sebelumnya itu, dihormati. Hal ini membantu mencegah perselisihan atas tanah dan sumber daya yang dapat mengarah pada kekerasan.

Misalnya, ketika Spanyol melepaskan kendali atas koloninya di Amerika Latin, UPJ digunakan untuk menetapkan perbatasan negara bagian baru. Ini mencegah negara lain untuk mencoba mengklaim tanah yang telah diberikan ke salah satu negara bagian baru.

Contoh lain adalah kasus Burkina Faso dan Mali. Pada tahun 1986, Mahkamah Internasional menggunakan UPJ untuk menyelesaikan sengketa perbatasan mereka. Pengadilan memutuskan bahwa perbatasan harus didasarkan pada perbatasan yang telah ditetapkan oleh bekas kekuatan kolonial, Perancis.

Secara keseluruhan, UPJ merupakan prinsip penting yang membantu menjaga perdamaian dan stabilitas di negara-negara yang baru merdeka. Dengan menghormati perbatasan yang ditetapkan oleh bekas kekuatan kolonial, UPJ membantu mencegah konflik atas tanah dan sumber daya. Lih. https://www.lsd.law/define/uti-possidetis-juris (diakses 4 Juli 2023).

[2] Sesesionisme (secession atau secessionism) adalah gerakan pemisahan diri suatu wilayah dan orang-orang yang tinggal di wilayah itu dari kedaulatan negara yang sudah ada dan berupaya membentuk negara baru yang merdeka dengan kedaulatan atas wilayah itu dan atas rakyat yang tinggal di wilayah itu. Lih. SORENS, JASON. “INTRODUCTION: Understanding Secession.” Secessionism: Identity, Interest, and Strategy, McGill-Queen’s University Press, 2012, pp. 3–51. JSTOR, http://www.jstor.org/stable/j.ctt1283bh.4. Accessed 5 July 2023. Mereka yang melakukan gerakan ini disebut sebagai kaum sesesionis (secessionist).



Rabu, 05 April 2023

Penjarahan Terselubung, Infrastruktur, Ekstraksi Keuangan dan Negara Selatan

 


Judul Buku: Penjarahan Terselubung, Infrastruktur, Ekstraksi Keuangan dan Negara Selatan
Penulis: Nicholas Hildyard
Penerjemah: Indro Suprobo
Penerbit: Resist Book
Ukuran: 14 x 20 cm, xii + 160 hlm
Terbit: April 2023

".......Di banyak negara, ketimpangan dalam akumulasi kekayaan bahkan lebih luas daripada ketimpangan pendapatan, dan ketimpangan itu terus meningkat. Oxfam menghitung bah-wa, pada tahun 2013, hanya 85 orang - jumlah orang yang bisa Anda dapatkan hanya dalam satu bus  double-decker di London - yang mengendalikan kekayaan sebanyak separuh populasi orang dewasa di seluruh dunia. Setahun kemudian, jumlah kekayaan yang sama dikendalikan hanya oleh 67 orang.

Kesenjangan kekayaan antara negara-negara terkaya dan termiskin juga meningkat. Selama masa kolonial dari tahun 1820 hingga 1911, kesenjangan pendapatan antara negara-negara terkaya dan negara-negara termiskin melebar dari 3: 1 menjadi 11: 1. Pada tahun 1950, pada saat banyak negara mencapai kemerdekaan, jumlahnya 35: 1. Pascakemerdekaan, jaraknya tidak menyempit tetapi semakin melebar: pada tahun 1999 Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan jumlahnya 79: 1. 

Penjarahan adalah satu-satunya istilah yang tepat untuk menggambarkan proses ini."

Fokus langsungnya adalah infrastruktur, tetapi buku ini juga dimaksudkan sebagai kontribusi praktis yang sederhana untuk mendorong pemahaman yang lebih luas tentang sa-rana kelembagaan yang berkembang yang digunakan oleh para elit untuk mengumpulkan kekayaan dengan biaya masyarakat sekaligus menjadi refleksi yang lebih kritis tentang cara-cara pengorganisasian melawan modal. Berikut ini adalah peta jalan ke seluruh buku:

Bab 2 buku ini dimulai dengan contoh konkret dari infrastruktur-eksploitasi– yakni studi kasus terperinci tentang ‘Queen Mamohato Memorial Hospital di Lesotho, yang dibangun dan dioperasikan oleh konsorsium sektor swasta di bawah kontrak Public-Private Partner-ship (PPP). Bab ini melacak aliran uang masuk dan keluar dari proyek - dan menyoroti siapa yang diuntungkan dari proyek itu. Bab ini mengajukan pendapat bahwa pengaturan PPP jelas berfungsi untuk mengeruk kekayaan yang cukup besar dari salah satu negara termiskin di dunia dan menyedot sebagian darinya kepada 1% elit orang kaya dunia. Dan, sebelum pengacara mulai menulis surat pengaduan fit-nah, biarlah ditekankan bahwa tidak ada saran dari setiap transaksi licik di sini. Sebaliknya: perhatian utamanya adalah bahwa ekstraksi itu sepenuhnya sah.

Bab 3 disusun berdasarkan contoh Lesotho untuk menguraikan bagaimana keuangan memandang infrastruktur dan cara-cara ba-gaimana infrastruktur dikerjakan ulang untuk menghasilkan apa yang dicari oleh keuangan: yakni aliran pendapatan yang stabil dan terikat kontrak. Salah satu fokusnya adalah pada pengaturan kon-trak yang dilakukan investor melalui Kemitraan Publik-Swasta un-tuk memastikan tingkat keuntungan yang tinggi dan terjamin (ya, terjamin). Meskipun negara tetap menjadi pemodal utama sekaligus operator layanan publik, ruang yang relatif kecil yang sekarang telah dibuka untuk investor swasta telah memungkinkan keuangan untuk membangun mesin ekstraksi multi-miliar dolar, yang sangat berisiko melahirkan ketidaksetaraan.

Bab 4 menyoroti sarana investasi lain di luar Public-Privat-Part-nership yang sedang digunakan atau dikembangkan untuk mengeruk kekayaan, langsung atau tidak langsung, dari kegiatan yang meliputi pendanaan, konstruksi dan operasi infrastruktur - dan upaya untuk melipatgandakan jumlah uang yang sekarang sudah diambil. Lintasan ini tidak hanya mengarah kepada semakin besarnya ketimpangan, melainkan juga sangat tidak demokratis, elitis dan tidak stabil. Tidak demokratis karena saat ini segelintir manajer dana semakin menen-tukan apa yang dibiayai dan apa yang tidak. Elitis karena fasilitas yang paling bermanfaat bagi orang miskin tidak dibangun. Tidak stabil karena infrastruktur-sebagai-kelas-aset adalah gelembung yang siap meledak.

Bab 5 berupaya memahami kekuatan struktural di balik kemun-culan infrastruktur sebagai kelas aset dan kerentanan modal yang dimunculkannya. Bagian ini mengajak berkeliling dunia melihat koridor-koridor infrastruktur besar-besaran yang sedang direncana-kan untuk memungkinkan skala ekonomi lebih lanjut dalam bidang ekstraksi, transportasi dan produksi sumber daya dan barang-barang konsumen dengan memadatkan ruang berdasarkan waktu. Bab ini menyatakan bahwa bentuk dominan modal industri tidak dapat de-ngan mudah berkembang tanpa pengeluaran besar-besaran pada ko-ridor-koridor ini. Tetapi rencana para perencana berbenturan dengan batas-batas keuangan infrastruktur tradisional. Uang itu tidak tersedia tanpa menarik kumpulan dana yang lebih luas di luar negara, bank swasta dan lembaga multilateral: pasar modal global adalah sumber target, kemitraan publik-swasta sebagai rangsangan, dan infrastruktur sebagai kelas aset yang disukai saat ini (seandainya sering goyah) me-rupakan sarana untuk menghasilkannya.

Bab 6  dalam buku ini merefleksikan tantangan yang ditimbulkan oleh rekonfigurasi infrastruktur bagi gerakan sosial. Dorongan untuk melibatkan sektor swasta secara lebih besar dalam pembiayaan dan operasi infrastruktur telah memicu perlawanan dari banyak pihak, termasuk dari serikat pekerja, aktivis lingkungan dan hak asasi manu-sia, dan gerakan sosial lainnya. Tetapi dalam banyak kasus, respons semacam itu dilemahkan oleh pengeroposan terhadap banyak sarana untuk menggerakkan perubahan sosial yang bersifat tradisional lintas sektoral, yang sudah tertanam dalam hidup masyarakat. Sebaliknya, advokasi semakin disalurkan melalui jasa konsultansi atau dengan isu tunggal, melalui organisasi non-pemerintah, yang banyak di an-taranya telah menjadi waralaba semu-korporat karena hubungan dengan basis politiknya terutama didorong oleh penggalangan dana. Akibatnya, sulit untuk bergerak melampaui 'reformasi reformis' (yang cenderung merusak upaya membangun gerakan jangka panjang) agar bisa menggantinya dengan mendorong 'reformasi non-reformis' (yang membuka ruang strategis untuk menghasilkan perubahan seja-ti). Upaya menghadapi lintasan pendanaan infrastruktur kontemporer beserta ketidaksetaraan serta ketidakadilan yang ditimbulkannya, ba-rangkali akan lebih membuahkan hasil apabila merupakan bagian dari upaya yang lebih luas untuk membangun atau memperkuat perlawanan yang berfokus kepada kepentingan bersama dalam menghadapi proses akumulasi.



Sabtu, 17 September 2022

Subyek yang Senantiasa Bertanya



Judul Buku: Bulan Terbelah, Dia Anakku Walau Bukan dari Benihku
Penulis: Gunawan Sudarsono
Kategori: Novel
Penerbit: Kunca Wacana
Ukuran: 11 x 17 cm, vi + 126 hlm
Terbit: Oktober 2022
Harga: Rp 55.000

Orang-orang yang menyukai proses belajar terus-menerus (on going learning), pada umumnya memiliki kebiasaan untuk senantiasa bertanya, berpikir dan menemukan alternatif jawaban. Pada umumnya pula, orang-orang yang tergolong dalam kategori ini, memiliki kebiasaan untuk mengambil jarak, menunda persetujuan, membuka kemungkinan terhadap cara-cara baru dalam membangun pemahaman, serta dengan gembira hati memberikan ruang bagi perbedaan pandangan. Semuanya itu sudah menjadi "laku", jalan hidup (the way of life), atau gaya hidup (life style). Yang paling menarik, orang-orang seperti ini, tak pernah merasa malu untuk mengakui bahwa ia belum memahami sesuatu. Maka ia tak pernah ragu ketika suatu saat harus mengatakan "maaf, saya tidak tahu tentang hal itu".

Gunawan Sudarsono, adalah salah satu contoh konkretnya. Sejak masih aktif sebagai guru sastra, ia selalu suka bertanya kepada para muridnya, mengajaknya untuk berpikir dan mencoba merumuskan alternatif jawaban. Sebaliknya, ia juga selalu dengan gembira membuka ruang bagi siapapun untuk bertanya, atau menyampaikan pandangan yang berbeda. Berdialog, bertukar pikiran, berbagi gagasan, saling mempertanyakan, saling melengkapi pandangan, saling membuka kemungkinan-kemungkinan, adalah ruang yang ditawarkan dan disediakannya sejak semula. Semangat untuk saling belajar tiada henti, itulah karakter yang sejak dini ia inisiasi.

Karena telah menjadi "laku", masa pensiun tidak membuatnya berhenti untuk berpikir dan bertanya, serta menemukan beragam jawaban yang mungkin beraneka rupa. Ia tetap menjadi pribadi yang produktif, terus bertumbuh, menciptakan makna dan berkarya. Bulan Terbelah, novel kecil yang ditulisnya, adalah salah satu bukti dan hasil nyata, sekaligus kesaksian utama tanpa dusta.

Sub judul yang dirumuskannya, Dia Anakku Walau Bukan dari Benihku, merupakan tema utama yang menjadi sarana baginya untuk mengajak semua pembaca untuk bertanya, berpikir dan berupaya merumuskan alternatif jawaban. Melalui novel ini, ia mengajak para pembacanya untuk mencoba memasuki peran dalam diri tokoh-tokoh utamanya, Herman dan Kadarwati, memasuki pengalaman, kenyataan, persoalan serta dilema yang dihadapinya.

Saat memasuki atau menghadapi pengalaman, peristiwa, kenyataan yang tak sesuai impian, dambaan mendalam, relasi kuasa, kegelisahan, rasa bersalah, dan pandangan-pandangan masyarakat sekitar maupun pandangan keluarga yang disuguhkan dalam novel ini, setiap pembaca diajak untuk menentukan pilihan dan mengambil keputusan. Meskipun melalui para tokohnya, Gunawan Sudarsono telah menyodorkan pilihan-pilihan, keputusan, serta cara berpikir dalam menghadapi kenyataan, ini tidak berarti bahwa ia telah secara final merumuskan satu jawaban pasti. Itu semua merupakan tawaran terbuka, sebagai salah satu pandangan yang menghantar pembaca untuk berpikir dan bertanya ulang, lalu merumuskan alternatif keputusan dan pilihan. Melalui novel ini, ia seperti sedang mengajukan sebuah pertanyaan,"Jika pilihan-pilihannya semacam ini, bagaimana menurutmu?" Selanjutnya, pembaca diajak untuk menimbang dan mengambil keputusan sendiri.

Membaca novel yang ditulisnya ini, saya merasa seperti dibawa kembali ke masa lalu, ke ruang kelas sastra, di mana ia mengajukan tanya agar sebanyak mungkin murid-muridnya mengajukan jawaban yang berbeda-beda, dan dengan gembira hati, ia mewadahi dan menanggapi semuanya. Sekali lagi, ia sedang mengajak untuk berpikir, bertanya dan merumuskan alternatif jawaban.

Bahasa-bahasa Simbolik
Hal lain yang menarik, novel ini menyuguhkan bahasa-bahasa sim-bolik yang mengesankan dan mendalam. Ia merupakan bahasa yang tak terucap dalam kata, melainkan dalam perilaku, sikap, permainan musik biola maupun piano yang menghubungkan gerak dan dinamika jiwa. Ada kesalahpahaman, ada dugaan-dugaan yang memberi harapan, ada feeling yang membangun keterhubungan dan komunikasi meskipun tak dipahami dalam keyakinan yang pasti. Kemarahan bapak Kepala Sekolah terhadap perilaku tokoh Bulan yang dinilainya tak menunjukkan sopan santun di dalam ruang kelas, merupakan kesalahpahaman yang disebabkan oleh tiadanya pengenalan terhadap konteks psikologis sang murid. Kepala Sekolah tak berhasil mengenali bahwa perilaku Bulan itu sebenarnya merupakan cerminan dari bahasa kerinduannya terhadap sosok ayah yang telah hilang, yang sebagian sifatnya tampaknya ditemukan dalam diri Kepala Sekolah itu.

Permainan biola oleh tokoh Pak Suryo, nama tua tokoh Herman, adalah upaya seorang ayah untuk menggapai hati seorang anak perempuan yang secara kuat ia duga sebagai anaknya, namun telah tak mengenalnya lagi. Ini adalah komunikasi-komunikasi non verbal yang menggetarkan dan kuat, serta mengesankan. Pembaca diajak untuk melampaui kata-kata dan memasuki komunikasi simbolik yang mendalam dan penuh makna. Saya kutipkan penggalan narasinya yang mengesankan:

Bulan terus disibukkan oleh pikiran-pikiran tentang ayah. Saat matanya terus tidak bisa dipejamkan, saat kerinduan terus menja-lari pikiran dan hatinya, sayup-sayup ia dengar Nocturne Op 9, No 2 Chopin. Suara biola mengalun lembut dengan nada rendah berpindah ke nada tinggi, kembali ke rendah lagi mengalir dengan lembut. Nada-nada keluar dari jari-jari yang digerakkan dengan penuh perasaan. Pada akhir lagu nada bergerak dari lambat meng-alun menjadi cepat dan melengking.
Ada perasaan mendalam yang diekspresikan oleh pemain biola yang tak lain Pak Suryo. Bulan merasakan setiap tarikan nada ada getar dan desah kerinduan akan sesuatu yang jauh dan tak ter-jangkau. Ada pertanyaan, ada gugatan, tetapi sekaligus juga ada penerimaan yang diungkapkan dari nada-nada yang terucap di te-ngah malam.
Bulan jadi ingat cerita mama bahwa ayah suka sekali memainkan lagu Nocturne Op 9, No 2 Chopin itu. Pak Suryo seperti tidak sedang bermain biola biasa. Ia menyatakan jiwanya. Ia menyatakan jeritan hatinya. Jeritan hati yang rindu kepada orang yang dicintainya.
Tak terasa, saat lagu itu berakhir, air mata Bulan menitik. Dari mulutnya tergumam,”Kaukah itu, Papa?”

Ruang Terbuka untuk Menunda
Meskipun kisah dalam novel ini diakhiri dengan happy ending, terasa sekali bahwa setelah kalimat terakhir tuntas terbaca, masih tersedia ruang yang terbuka untuk menunda persetujuan, menunda pemaknaan, dan menghantar lagi kepada upaya untuk kembali berpikir dan bertanya, mengurai kembali jaringan peristiwa, menelusur pilihan dan keputusan yang disodorkan melalui para tokohnya dengan pertanyaan mengapa, bagaimana bisa, apa penyebabnya, faktor apa saja yang membentuknya, dan sebagainya. Banyak hal yang memengaruhi para tokoh dalam mengambil pilihan dan keputusan, memang tetap tersem-bunyi, tak diungkap secara detail dan rinci. Namun justru di situlah ruang dialog dan diskusi itu disediakan oleh novel ini. Ada ruang untuk mencoba menggali, menimbang, menelusuri, menduga, menemukan ke-mungkinan, mengidentifikasi relasi, dan memahami faktor-faktor yang memungkinkan peristiwa-peristiwa itu terjadi.

Oleh karena itu, sejauh saya pahami, Bulan Terbelah, adalah novel yang juga mencerminkan konsistensi antara penulis dan karyanya, yakni keduanya adalah subyek yang senantiasa membuka ruang untuk berpikir dan bertanya. Boleh dikata, setelah mencerna sampai pada kalimat paripurna, pembaca tetap dibuat merasa gelisah, berpikir ulang, menunda untuk percaya, dan tetap bertanya-tanya mengapa bisa demikian itu kisahnya.

Singkat cerita, Bulan Terbelah adalah novel yang juga berperan sebagai subyek yang senantiasa bertanya kepada pembaca dalam perspektif yang beraneka rupa. Pada gilirannya, pembaca yang menemukannya, dapat mengajukan kemungkinan dan alternatif jawaban dalam segudang sudut pandang: tentang relasi jender, tentang patriarki, kognisi sosial dan wacana kritis, relasi kuasa, tentang lack dan jouissance dalam psikoanalisis Lacanian, tentang otonomi pribadi, pandangan keagamaan, dan lain-lainnya.

Sudah pasti, novel kecil ini akan berlari mencari jalannya sendiri. Para pembaca akan menemukannya dengan perspektif yang beraneka rupa. Gunawan Sudarsono sebagai penulisnya, akan kembali diajak ke ruang-ruang kelas sastra seperti sedia kala, dengan cara-cara baru dan berbeda, namun dengan esensi yang sama, mengajukan atau mendengarkan tanya, sekaligus menuai temuan-temuan baru yang beragam dan kaya. Lalu sekali lagi prosesnya akan bergulir kembali, saling belajar dan berbagi pandangan tiada henti. Bahkan, sebagai penulis, ia akan dibawa ke dalam ruang bersama yang terbuka untuk belajar lagi dari karyanya sendiri.

Gunawan Sudarsono yang telah menulis novel kecil ini dan siapapun juga yang mengambil pilihan untuk membacanya, barangkali dengan gembira hati boleh mengingat-ingat dan merasakan kuatnya makna kata-kata Yesus kepada Marta, tentang pilihan Maria,"…..tetapi hanya satu saja yang perlu, Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya." (Luk 10:42). Dalam konteks mencintai proses belajar, keputusan untuk menulis maupun membaca novel kecil ini merupakan salah satu tindakan memilih bagian terbaik yang tak akan diambil dari padanya. Semoga demikian adanya……***

Indro Suprobo, Editor

Rabu, 22 Desember 2021

Inner Journey, Perjalanan Jauh ke Dalam



Penulis: Ruy Pamadiken
Editor: Indro Suprobo
Terbit: Desember 2021
Ukuran: 14 x 20 cm, xiv + 178 hlm

Inner Journey, Perjalanan Jauh ke Dalam, adalah buku ketiga Ruy Pamadiken yang menawarkan cara berbeda dalam menghadapi realitas harian. Meminjam istilah yang digunakan oleh Abraham Maslow, seorang pengusung psikologi humanistik ternama, melalui narasi-narasi pendek yang ada di dalamnya, buku ini menawarkan cara menghadapi realitas harian dengan apa yang disebut sebagai Being-Cognition atau disingkat B-cognition, yakni memahami, mengenali, menyelami dan memaknai realitas harian dengan being, menjadi, terlibat secara mendalam dan partisipatif, menyatu di dalamnya secara keseluruhan, sehingga realitas harian itu menjadi terbuka, menyingkapkan dirinya, menawarkan kesatuan utuh dengan keseluruhan, dan melepaskan ikatannya dengan waktu linear, menjadi sebuah momen yang tak terbatas waktu, yang tersingkap dan terbuka senantiasa, ….menjadi timeless moment. Ia menjadi saat yang tak lekang oleh pembatasan waktu, menyatukan masa lalu dan masa depan dalam saat sekarang yang agung dan mendalam.

Melalui being-cognition, buku ini mengajak setiap orang yang membacanya untuk menghadapi realitas harian bukan semata-mata sebagai realitas instrumental yang menjadi alat untuk mencapai tujuan yang lainnya, melainkan sebagai realitas yang menarik setiap orang untuk masuk ke dalam makna terdalam, mengalami kepenuhan, merasakan kesatuan dengan segala sesuatu yang berada di luar dirinya dan yang lebih besar dari dirinya. Dengan demikian Timeless Moment ini menjadi peak experience, sebuah pengalaman puncak yang membawa setiap orang kepada kepenuhan makna dan keutuhan dalam kesatuan dengan semesta.

Dalam tradisi Kitab Suci Kristen, cara menghadapi realitas harian seperti ini tercermin dalam pilihan Maria untuk duduk di dekat kaki Yesus, mendengarkan dan belajar dari-Nya. (Luk 10:38-42). Ini sebuah pilihan yang berbeda dengan pilihan Marta yang bersifat instrumental. Kedua cara menghadapi realitas harian ini, sebagaimana dipilih oleh Maria dan Marta, bukanlah pilihan yang beroposisi biner, bukan pilihan mana yang lebih baik dan mana yang lebih buruk, melainkan sebuah pilihan dalam keseimbangan. Keduanya penting. Realitas harian musti dihadapi secara instrumental demi tujuan tertentu, namun sekaligus perlu dihadapi sebagai sabbath, saat hening dan saat kepenuhan.

Ruy Pamadiken dalam buku ini sedang menunjukkan dan mengajak para pembaca untuk menyelami proses keseimbangan itu. Kisah-kisah yang ditawarkan di dalam buku ini, dari dalam dirinya juga menarik pembaca untuk terlibat, menyelami, berpartisipasi, meresapi dan mencecap seluruh elemen pengalaman yang dikisahkan itu. Melalui cara ini, pembaca diajak untuk menjadi Maria yang mendekati sebanyak mungkin realitas harian sebagai timeless moment, yang dalam kitab suci dirumuskan dengan "bagian terbaik yang tak akan diambil daripadanya", dan pengalaman puncak yang menyediakan makna keseluruhan dan kepenuhan. Realitas harian yang dihadapi oleh penulis, ketika dibaca dan dinikmati, membuka dirinya menjadi pengalaman pembaca, menjadi peristiwa atau moment yang senantiasa terbuka bagi siapapun yang mau terlibat dan berpartisipasi di dalamnya, sehingga pembaca merasakan dan mengalami, serta menemukan semua yang berharga yang dapat ditemukan di dalamnya. Kegembiraan, air mata, ketakjuban, mukjizat yang bekerja secara tak dinyana-nyana, keterbatasan diri, kelemahan yang dibentuk oleh pembiasaan, semuanya dapat ikut ditemukan dan dialami sebagai pengalaman diri dan memasuki peak experience yang menyediakan "aha!".

Timeless Moment menjadi saat di mana realitas dan pengalaman harian dihayati dalam aktualisasi diri yang paling dalam, sehingga seluruh kekayaan yang tersembunyi di dalamnya, memancar, memenuhi seluruh kesadaran, berbicara dalam denting keheningannya yang paling sempurna, menyatakan dirinya, membiarkan diri ditemukan, dan pada gilirannya, menyediakan kebaharuan.

Timeless moment adalah undangan dan kesempatan yang senantiasa tersedia di dalam setiap realitas harian kita. Jika seseorang tak merasa terpanggil untuk menjawab undangan dan kesempatan itu, segala sesuatu yang tersedia di dalamnya, akan hilang lenyap. Ia hanya dapat dicecapi dan diselami oleh mereka yang memiliki kecintaan dan kemauan untuk memasukinya. Ia akan diselami oleh mereka yang senantiasa ikhlas untuk melangkah dalam perjalanan jauh ke dalam. Duc in altum.

Indro Suprobo
Editor